Pages

Fegato storia

Tuesday, March 22, 2011



Kamu yang kemarin, selalu ada disini, di balik baju, dekat jantung.  Tetap berperan sebagai virus yang menggerogoti bak virus kanker. Aku sadar, makin hari kondisi aku makin memburuk layaknya orang yang terkena kanker. Ya. Aku terkena kanker. Kanker cinta. Aku lemah. Daya imunku habis terbuang percuma. Aku, seperti selembar tissue yang sudah tercelup ke dalam air dan tinggal menunggu orang yang mau memungutku dengan penuh kehati-hatian. Aku rapuh. Aku bisa saja sobek ketika seseorang mengambilnya dengan sembarang. Jika sobek, aku…mati. Ini semua akibat kamu yang kemarin.

Ketika hujan, aku selalu memandang tiap butir air yang jatuh dengan spontanitas dan mencium tanah dengan segenap perasaannya. Kamu tau? Hujan juga punya perasaan. Dia juga pernah jatuh cinta, seperti aku. Dia jatuh cinta pada awan. Awan yang berwarna keabu-abuan. Tapi awan telah bersama angin. Selalu setia bersama angin. Hujan tau betul, bahwa perasaannya ke awan abu-abu itu kadang percuma. Hujan tahu betul posisinya yang jarang dibutuhkan awan. Tapi hujan berusaha setia dan berusaha untuk selalu mencintai awan.

Aku senasib dengan hujan. Aku terombang-ambing layaknya pasir di pinggir pantai. Kadang ditemui oleh air laut, kadang tidak. Kamu itu seperti air laut. Asin. Dan selalu datang sesukanya. Membiarkan aku bernasib sama seperti pasir yang dibiarkan begitu saja walau sebenarnya kamu tau jarak kita itu tidak terbatas. Jarak aku dengan kamu begitu dekat. Kalau kamu rindu aku, kamu bisa sesukanya datang menyapaku. Atau sekedar menciumku dengan tubuhmu yang mengandung banyak garam. Kadang, kamu pun menyeretku bersamamu, mencoba membawaku lebih jauh lagi. Tapi, kenyataannya tidak bisa. Kamu punya batas dimana kamu bisa membawaku pergi. Aku bisa saja mengikutimu ke lautan lepas, tapi aku pasti akan mati, tenggelam, karena cintamu.

Aku bukan seorang penulis kata-kata cinta yang baik. Aku hanya ingin berbagi kisah. Bukan hanya kisahku, tapi kisah hujan dan pasir. Mereka jadi sahabat baikku, sekarang. Kami selalu bercerita bersama, bergiliran dan kamipun kadang menangis bersama. Kami tidak malu untuk menguraikan air mata, karena itu terpuji bagi kami.

Untuk kamu, awan abu-abu, dan air laut. Kalian, sama. Kalian adalah hal penting bagi kami, aku, hujan, dan pasir. Kami selalu mencintai kalian. Tapi kali ini, kami harus pamit. Sepertinya cukup bagi kami untuk mengejar detik setiap harinya agar kalian bisa memberikan kejelasan kepada kami. Kami juga ingin mencinta dengan bebas, tidak dengan batasan. Kami punya perasaan yang bisa dibagikan kepada siapa saja, bukan hanya kepada kalian, walau mungkin intensitas kepada kalian lebih besar. Jadi, izinkan kami pergi. Kami tau, kami rapuh. Kami pun tau, jikalau suatu saat kami telah letih untuk berada jauh dari kalian, kami pasti kembali kepada kalian. Dan kami pun sudah berpikir, bagaimana reaksi kalian ketika kami kembali setelah kami pergi dengan jangka waktu yang tidak sebentar. Kami hanya ingin terbang. Mencoba menghirup udara cinta diluar sana yang mungkin saja tidak membuat kami mengalami radang paru-paru seperti ketika bersama kalian. Tapi kami berterima kasih, karena radang ini akan selalu menyisakan sedikit sakit dihati kami, yang menandakan bahwa ada kalian di dalam diri kami.

Kami, pamit.

Aku, pamit. Hujan, pamit. Pasir, pamit.

Sore ini hujan turun dibalik jendela kamarku, dan menyapa pasir dengan kecupan di pipi pasir dibawah sana. Sebentar lagi aku akan menyusul mereka. Bergabung menikmati cinta yang luar biasa yang telah disiapkan untuk kami.

Salam cinta,

Aku, Hujan, dan Pasir.

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS